The Love Untold by Fany Hendriani (1730911011)


Aku memanjat pohon itu seperti yang biasa aku lakukan, dengan penuh semangat, malam ini entah kenapa aku begitu bertekad. Aku rindu sekali sama Nadia dan senyumannya, aku rindu ngobrol dengannya. Ketika sampai di depan jendela lantai dua, aku melompat sehingga mendarat dengan sukses di lantai balkonnya, kulihat Nadia sedang duduk di kursi belakangnya, kacamatanya terpasang dan dia sedang serius menghadap komputernya. Dengan lembut kuketuk jendela kamarnya. Sekali, dua kali akhirnya aku berhasil membuyarkan konsentrasi sahabatku itu, dia menoleh ke jendela, dan seperti biasanya reaksi pertamanya adalah cemberut. Aku sengaja memasang ekspresi lucu di depan jendela, membuat Nadia makin cemberut. Tetapi walaupun begitu, sahabatku itu tetap berdiri dan membukakan jendela untukku.

“Lewat jalan yang normal-normal saja nggak bisa ya ?” gerutu Nadia

ketika aku melompati ambang jendelanya dan memasuki kamarnya. 

Aku tergelak, “Kalo lewat pintu depan yang ada aku harus ngobrol sama papamu di ruang tamu, dan ujung-ujungnya bukannya ketemu sama kamu, aku harus meladeni tantangannya untuk main catur" 

Nadia tersenyum dan menepuk bahuku dengan sayang, “Kamu sih, sekali-kali ngalah dong sama papa, jadi dia nggak akan penasaran nantangin kamu main catur terus” 

Aku tergelak mendengarnya, lalu dengan santai kubantingkan tubuhku ke ranjang Nadia yang begitu feminim, bermotifkan strawberry warna pink. Segera Nadia menyusulku duduk di pinggir ranjang, sambil menggerutu bahwa spreinya baru diganti, bahwa ranjangnya pasti kotor karena aku habis dari luar naik-naik pohon. Aku hanya tersenyum dan menganggapnya sebagai angin lewat. Nadia memang selalu begitu, cerewet, cemberut, dan tukang ngomel, tetapi di balik itu, dia penuh kasih sayang luar biasa kepadaku. Kami sudah berteman sejak lama, kalau boleh dibilang sejak lahir. Kami hanya selisih satu hari. Nadia yang lebih tua satu hari dariku dan mungkin itu juga yang membuatnya menobatkan diri sebagai kakak angkat perempuanku. Mungkin juga karena aku sebagai laki-laki memang sejak kecil selalu lemah dan sakit-sakitan. Aku tidak seberuntung Nadia yang lahir sehat, aku terlahir dengan katup jantung yang tidak normal, sehingga kerjaanku hanyalah keluar masuk rumah sakit. Aku tidak bisa sekolah seperti anak-anak biasa, aku sekolah di rumah karena tubuhku sangat lemah. 

Tetapi Nadia tidak pernah meninggalkanku karenanya, sejak kecil, setiap pulang sekolah dia selalu mengunjungiku ke rumah, berbagi cerita. Kami sudah seperti kakak adik yang sangat saling menyayangi. Dan itu berlangsung bahkan sampai Nadia sudah hampir lulus kuliah di jurusan Sastra Inggris yang sangat disukainya, sedangkan aku semakin sering menghabiskan waktuku di rumah sakit. Dalam setahun mungkin tujuh bulannya aku habiskan di rumah sakit, dan hebatnya Nadia tetap setia mengunjungi-ku, di sela-sela kesibukannya dia tetap selalu menyempatkan diri mampir di rumah sakit ketika aku di rawat. Aku sebenarnya punya seorang kakak laki-laki yang tiga tahun lebih tua dariku, dulu di masa kecil kami lumayan akrab. Kak Dimas, aku dan Nadia selalu bermain bersama-sama. Sebenarnya aku dan Nadia yang bermain bersama dan kak Dimas yang bertugas menjaga kami. Tetapi bagaimanapun juga kami sangat akrab. Seperti tiga kakak beradik yang saling menyayangi.

“Kemarin kan kamu masih di Rumah Sakit toh Mario, kok tiba-tiba kamu nongol di sini, kapan kamu diperbolehkan pulang dari Rumah sakit? Kok aku nggak liat mobil om Deni ya?” Nadia melongokkan wajahnya ke seberang jendela, ke arah rumahku berusaha mencari penampakan mobil papaku, tapi inikan sudah jam 11 malam, dan diluar sudah gelap jadi yang tampak diluar hanya kegelapan pekat. Aku mengangkat bahu, 

“Kamu tidur kali pas aku pulang.” Sambil terkekeh Nadia melemparkan bantal ke mukaku.

“Sembarangan. Aku dari tadi siang berkutat di dapur sama mama, nyiapin makanan buat buka puasa tau !” Suara Nadia tiba-tiba berubah lembut, “Gimana hasil diagnosa dokter, Niko ?, kemarin kak Dimas cerita kalau kamu harus operasi katup jantung yang ke dua kalinya... tapi katanya kamu nolak.” 

Aku memalingkan muka, menghindari tatapan Nadia, “Bisa nggak kita nggak ngomongin itu ? Aku capek.”

“Tapi kamu harus berani Niko” Nadia tetap melanjutkan tidak peduli dengan tubuhku yang menegang kaku, “Operasi itu kemungkinan suksesnya besar, kamu mungkin akan bisa sehat seperti sedia kala.” 

“Kemungkinan kesuksesan operasi itu Cuma 50:50” sambarku getir. Kutatap Nadia tajam, berusaha menahan kegetiran, 

“Kamu nggak tahu betapa takutnya aku kalau harus mati di atas meja operasi....” aku nggak mau mati sebelum aku mengungkapkan betapa aku mencintai-mu Nad. Desahku dalam hati. 

Tentu saja hanya dalam hati, aku sampai sekarang tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan cintaku secara terang-terangan kepada sahabatku ini. Ya. Sudah sejak lama, mungkin sejak dulu aku mencintai Nadia. Perasaan itu semakin berkembang seiring dengan bertambahnya usia dan bertambah lama-nya kebersamaanku dengan Nadia, dan kadang memendam cinta seperti ini terasa begitu menyakitkan. Dan entah kenapa malam ini aku bersemangat. Bersemangat untuk menyatakan cintaku kepada Nadia. Entah nanti aku akan diterima atau tidak, aku ingin mengungkapkan perasaanku. Di dalam kantongku ada sebentuk cincin mungil dengan ukiran bunga. Cincin yang indah, seindah perempuan di depanku ini. Kalau Nadia mau menerima cintaku, aku ingin memberikan cincin itu kepadanya, dan mungkin aku berani untuk melakukan operasi katup jantung itu. Demi Nadia. 

“Tapi aku ingin kamu sehat Niko” Mata Nadia berkaca-kaca dan menatapku penuh perasaan, membuat lidahku kelu. 

“Nad....” suaraku bergetar ragu, “Nad, kamu sayang enggak sama aku?”

Nadia mengernyitkan kening lalu tersenyum, “Ya tentulah aku sayang sama kamu, kita ini udah lebih dari sodara, kamu itu sangat berarti buatku Niko....” 

“Bukan begitu.... maksudku....”

“Lagipula sebentar lagi kan kita akan menjadi saudara....” gumam Nadia penuh rahasia. 

Pengakuan cinta yang tadi sudah di ujung lidahku terhenti seketika, aku menatap Nadia bingung. “Maksudnya...?” 

Pipi Nadia mulai bersemu merah ketika menatapku, lalu dia tersenyum malu-malu, “Sebenarnya kami ingin merahasiakannya dulu Niko... tapi.. kamu kan bukan orang lain, jadi menurutku dia juga nggak akan marah kalau aku memberitahumu lebih cepat” Nadia berdehem pelan, membuatku merasa gugup.

“Maksudnya...?” rasanya aku seperti kaset rusak yang mengulang-ulang kata yang sama. 

Nadia memegang pipinya yang memerah, “Kak Dimas melamarku, Niko... rencananya begitu aku menyelesaikan skripsi, kak Dimas mau melamarku ke Papa....”

Senyum bahagia Nadia bagaikan sembilu yang menusuk jantungku. Sejenak aku terpana dan tidak bisa berkata-kata. 

“Maksudmu.... kamu dan kak Dimas....?” aku berusaha mencerna kenyataan ini, tetapi entah kenapa batinku menolak tak mau menerima, “Kapan...? Bagai-mana....?” tanpa sengaja jemariku meremas cincin mungil di sakuku, sampai tulang jemariku terasa sakit. 

“Selama ini kami merahasiakannya ke kamu Niko, aku yang meminta kak Dimas melakukannya, habis aku malu dan takut kamu nanti menertawakanku habis-habiskan karena akhirnya pacaran sama kak Bagas.... tapi Niko... sebenarnya sejak kecil aku sudah jatuh cinta kepada kak Dimas, dan sangat mengidolakannya, tak disangka kak Dimas juga menyimpan perasaan yang sama” mata Naria bersinar, mata perempuan yang sedang dimabuk cinta. Saat aku masih terpana membisu, Nadia menyentuh lenganku dan meremasnya lembut. “Aku senang Niko, kalau aku nanti menikah dengan kak Dimas, kita benar-benar bisa menjadi satu keluarga, Kamu tahu aku itu senang sekali menjadi kakakmu, kamu pasti juga senang kan kalau kita benar-benar menjadi kakak adik?” 

Lidahku kelu, dan hatiku hancur, tetapi tidak ada yang bisa aku katakan. Aku mematung membisu dalam patah hati yang luar biasa dalam. Nadia mengernyitkan keningnya menatapku, “Niko? Kok kamu jadi pucat sekali?” Jemarinya menyentuh lenganku lagi, “Astaga kamu dingin banget!!! harusnya pulang dari rumah sakit kamu langsung istirahat bukannya kemari, pake manjat-manjat pohon segala....!” dengan panik Nadia mengambil selimut dan menyelimutiku, “Sebentar aku akan telephone kak Dimas untuk menjemputmu....” Baru saja Nadia hendak mengangkat ponsel, pintunya diketuk dengan keras. Lama-lama ketukannya semakin keras dan mendesak. “Siapa sih malam-malam begini?” Nadia menggerutu dan melangkah ke pintu, lalu membukanya. Kulihat kak Dimas berdiri di sana, wajahnya tampak pucat dan kuyu, rambutnya berantakan. “Lho, kak Dimas? Kebetulan sekali, aku baru saja mau menelephone kak Dimas....”

"Nad, kita harus segera ke rumah sakit...” Suara kak Dimas tampak serak penuh kepedihan. 

Kudengar Nadia tersentak kebingungan, “Siapa yang sakit kak?” Sedetik kulihat kak Dimas menatap Nadia bingung, lalu menggelengkan kepalanya, air mata menetes pelan dari matanya, mengaliri pipinya. “Niko Nad, satu jam yang lalu dia mendapat serangan, dan jatuh koma, dokter berusaha menyadarkannya. Tetapi dia tidak bangun lagi. Dia meninggal Nad....” 

Kali ini aku dan Nadia sama-sama tersentak. Nadia menjerit kaget dan menatap kak Dimas tidak percaya, “Tidak mungkin kak!!! Barusan saja aku dengan Niko....” kulihat Nadia menoleh ke ranjang, menatapku.... Tapi saat itulah kusadari bahwa yang dilihat Upit hanyalah ranjang kosong. Tak ada siapa-siapa di situ. Kulihat Nadia semakin pucat. Dan kemudian dia jatuh pingsan di pelukan kak Dimas yang segera menangkapnya. Suara-suara gaduh kemudian terdengar karena mama dan papa Nadia menyusul ke atas. Sementara aku masih duduk di ranjang itu, menatap tanganku sendiri yang sekarang menjadi tembus pandang. Dihantam kenyataan bahwa bahkan sampai akhir hidupku, aku tidak pernah bisa mengungkapkan perasaan yang telah kupendam sekian lama kepada perempuan yang kucintai. Anganku melayang ke kotak kecil berisi cincin di laci kamarku yang tersimpan dengan baik di sana. Cincin itu tidak akan pernah di serahkan... tidak akan pernah tersampaikan. Aku memejamkan mata dengan setetes air mata bergulir, sebelum semuanya menjadi kabur dan lenyap. -END-

Komentar